Powered By Blogger

Senin, 04 April 2011

Tata Cara Upacara Penguburan Umat Kaharingan

ABSTRAK

Setiap warga negara dijamin kebebasannya memeluk dan menjalankan ajaran Agamanya seperti yang tercantum pada pasal 29 UUD 1945. Seluruh rakyat Indonesia yakin dan percaya bahwa Tuhan itu Esa (Tunggal) dan Maha Kuasa. Dengan adanya keyakinan dan kepercayaan itu, maka masyarakat Bangsa Indonesia memberikan kebebasan yang sangat mutlak dan paling azasi umtuk memilih dan melaksanakan ajaran Agama sesuai dengan kepercayaannya.
Kebebasan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan sehingga terbina kualitas Tri Kerukunan Umat Beragama dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan seluruh bangsa serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk bersama-sama membangun masyarakat. Dalah satu upaya dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu membentuk nilai dan sikap yang bersumber dari berbagai hal dari agama, hukum, adat istiadat, moral dan sebagainya.
Semakin meningkat dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat perlu diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebagai warga negara yang baik kita berkewajiban melestarikan dan memerihara budaya-budaya seperti budaya keagamaan termasuk masuk kepercayaan Hindu Kaharingan di Kalimatan Tengah
Demikian juga tertulis dalam kitab suci Panaturan yaitu sebagai pedoman dan menuntun pelaksanaan upacara penguburan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya. Kitab Suci Panaturan memberikan petunjuk kepada manusia untuk melaksanakan upacara penguburan sebagai jalan menyatukan roh suci kepada asalnya yaitu Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dan menyucikan sanak saudaranya yyang masih hidup dari beberapa pantangan Pali/rutas kematian (cuntaka). Kewajiban melaksanakan upacara penguburan tertulis dalam kitab suci Panaturan pasal 29 ayat 4 berbunyi sebagai berikut :
Hete Ranying Hatalla bapander panjang umba Raja Bunu, tuh bitim palus panarantang aim, akan ilaluhan kareh manyuang Batang Petak ije jadi injapa-Ku hayak inyewut-Ku jeta Pantai Danum Kalunen tuntang panarantang aim te dapit jeha puna bagin matei.
Artinya
Dengan panjang lebar Ranying Hatalla berfirman kepada Raja Bunu, firman-Nya kepada Raja Bunu, bahwa engkau dan semua anak keturunannya akan AKU turunkan mengisi permukaan bumi yang telah KU ciptakan dan AKU sebut itu kehidupan, serta bagi anak keturunanmu nantinya iia kkembali kepada-KU melalui kematian.
(Tim Panaturan, 2006;131).


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap warga negara dijamin kebebasannya memeluk dan menjalankan ajaran Agamanya seperti yang tercantum pada pasal 29 UUD 1945. Seluruh rakyat Indonesia yakin dan percaya bahwa Tuhan itu Esa (Tunggal) dan Maha Kuasa. Dengan adanya keyakinan dan kepercayaan itu, maka masyarakat Bangsa Indonesia memberikan kebebasan yang sangat mutlak dan paling azasi umtuk memilih dan melaksanakan ajaran Agama sesuai dengan kepercayaannya.
Kebebasan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan sehingga terbina kualitas Tri Kerukunan Umat Beragama dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan seluruh bangsa serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk bersama-sama membangun masyarakat. Dalah satu upaya dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya yaitu membentuk nilai dan sikap yang bersumber dari berbagai hal dari agama, hukum, adat istiadat, moral dan sebagainya.
Begitu pula halnya dengan Umat Hindu yang merupakan bagian dari masyarakat Bangsa Indonesia ini, tentunya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan setara dengan penganut Agama lainnya, baik dalam hak dan kewajiban dala menjalankan peribadatan dan penyembahan maupun dalam pelaksanaan upacara-upacara lainnya didasari dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Tuhan menurunkan ajran-Nya penuh dengan yajna karena yajna adalah merupakan suatu kemuliaan, kemakmuran dan kesejahteraan yang abadi, Dalam Kitab Suci Weda (Reg. Weda IX.64.21) menyatakan :
“ Abhi vena anusata
uyaksanti pracetasah
Majjanty atricetasah

Artinya :
“Orang-orang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terpelajar mempersembahkan doa-doa dan para ahli keagamaan yang dicerahkan beerniat menyatu Yajna. Orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa akan tenggelam.
Dalam kutipan mantra tersebut di atas menggambarkan bahwa umat manusia harus melaksanakan yajna, karena yajna merupakan ajaran-ajaran kesucian dan sangat mulia dihayati serta diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap agama telah mengajarkan tentang kebajikan, supaya manusia itu berahlak, berbudi pekerti yang luhur dan memiliki Tata Krama yang baik. Maka oleh sebab itu hendaknya umat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah harus benar-benar dapat menghayati dan mendalami ajaran agama terutama tentang Upacara Ritual Keagamaan. Didalam ajaran agama Hindu terdapat suatu istilah yang disebut dengan “Desa, Kala, Patra” (tempat, waktu, keadaan) yang merupakan doktrin yang luhur dan strategis bagi umat Hindu.
Menurut Nyoman S. Pendit dalam bukunya “Aspek-aspek Agama Hindu” menyatakan bahwa Desa artinya tempat kita berada, Kala artinya waktu pada saat kita berada, patra artinya keadaan atau situasi, kondisi dimana kita berada (Nyoman S. Pendit . 1993 : 108).
Dengan adanya penyatuan terhadap doktrin tersebut, maka berarti pula bahwa ajaran Agama Hindu itu pun juga harus sesuai dengan tempat waktu dan keadaan (situasi) dimana umat Hindu berada.
Bagi intern Umat Hindu perbedaan-perbedaan itu tidak perlu dipermasalahkan bahkan merupakan kebanggaan dan sumber kekayaan budaya Hindu yang menarik dan unik untuk dipelihara dan dilestarikan. Perbedaan itu baik menyangkut nama, istilah, tata cara upacara (upakara), maupun bahasa dan susunan suatu upacara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai daerah seperti antara lain Umat Hindu di Pulau Jawa tentu berbeda cara melaksanakan ibadah an pemujaannya dari daerah Pulau Bali, begitu juga di Pulau Kalimantan mempunyai ciri khas tersendiri.
Semakin meningkat dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sangat perlu diamalkan baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebagai warga negara yang baik kita berkewajiban melestarikan dan memerihara budaya-budaya seperti budaya keagamaan termasuk masuk kepercayaan Hindu Kaharingan di Kalimatan Tengah (Upeng, 1997:1).
Ritual keagamaandan keyakinan terhadap Tuhan serta adat istiadat yang telah menjadi budaya bangsa Indonesia yang menjadi perhatian para peneliti baik dalam negeri maupun luar negeri (orang asing) sangat tertarik meneliti tentang upacara penguburan yang diyakini oleh Umat Hindu Kaharingan, karena sarana upacara tersebut memiliki nilai-nilai budaya yang sangat unik dari sejak jaman dahulu kala dengan penuh tata cara yang beranekaragam menyesuaikan tempat, waktu dan keadaan daerah setempat.
Bagi pemeluk masyarakat kaharingan upacara penguburan merrupakan tradisi yang lahir dari adat kebiasaan nenek moyang, dan tuntutan kewajiban suci yang dilaksanakan sehingga menjadi suatu kepercayaan/keyakinan sebagai salah satu ibadah masyarakat Hindu Kaharingan. Upacara penguburan merupakan upacara suci bersifat sakral yang wajib dilaksanakan oleh umat Hindu Kaharingan.
Ketertarikan dan keteringinan peneliti untuk mempelajari lebih mendalam tentang upacara penguburan pada masyarakat Hindu Kaharingan seperti dinyatakan oleh Preusz dalam bukunya “Tod and unsterblichkeit in Glaben der Naturvolker” (1933) yaitu konsepsinya menggenai ritus dan upacara dengan anggapan bahwa rangkaian ritus yang paling penting karena banyak religi yang terjadi di dunia adalah “ritus kematian” dalam ritus-ritus seperti itu yang sering kali terjadi kali terjadi dan melambangkan proses pemisahan antara yang hidup dan mati, hubungan seperti itulah Preusz menguraikan dengan sangat baik bahwa konsep manusia antara hidup dan mati itu sebenarnya merupakan orientasi pusat dari religi di dunia, dan mempunyai suatu gambaran bahwa manusia akan mengalami kehidupan dan kematian. (Koentjaraningrat, 1987:69-70).
Kalimantan yang merupakan pulau terbesar di Indonesia. Pelaksanaan upacara agama Hindu sangat bervariatif dimana masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS) selalu berbeda-beda yaitu dengan yang lainnya. sistem religi masyarakat disetiap daerah mempunyai ciri khas dan keunikan masing-masing, demikian juga upacara penguburan yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya memiliki suatu perbedaan dari daerah lain dalam pelaksanaan tetapi secara esensial mempunyai tujuan yang sama, tuuan upacara tersebut adalah untuk mengantarkan roh menuju ke Bukit Pasahan Raung yang dilayani oleh Indu Rangkang Penyang, setelah penguburan dilaksanakan kemudian pada hari ke tiga dilaksanakan Balian Tantulak Ambun Rutas Matei yaitu mengantarkan roh liau ke Lewu Bukit Nalian Lanting. Ditempat itu dijaga oleh Raja Entai Nyahu Kameluh Tanta Dandayu yaitu tempat sementara menunggu pelaksanaan upacara penyucian terakhir yaitu Tiwah.
Ajaran agama Hindu Kaharingan dapat dipahami dengan baik, apabila seseorang dapat mempelajari secara utuh dengan sudut pandang agama Hindu Kaharingan itu sendiri, karena dalam beberapa prosesi upacara yang bernafaskan ritual keagamaan adalah perlu dikaji sesuai fakta yang terjadi dilapangan sehingga tidak ada kesalahpahaman dalam memahami upacara tersebut.
Agama Hindu Kaharingan sebagaimana juga agama-agama yang lain memiliki ciri-ciri khusus dan merupakan identitas diri sebagai pemeluk. Salah satu menonjol adalah adanya bermacam-macam atau beraneka ragam dalam penampilan atau pelaksanaan hidup keberagaman. Adapun yang menjadi salah satu penampilan atau pelaksanaan ajaran agama Hindu Kaharingan disebut dengan acara agama Hindu Kaharingan yang merupakan suatu tradisi atau kebiasaan secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan yang bersumber pada kaidah-kaidah hukum secara tertulis maupun sesuai tradisi setempat. Oleh karena itu acara agama merupakan suatu penampilan atau pelaksanaan ajaran agama Hindu Kaharingan dan menjadi bagian luar yang paling nampak sebagai fenomena agama.
Bagi masyarakat Hindu di Kalimantan Tengah, khususnya masyarakat Hindu Kaharingan perbedaan semacam itu tidak dipermasalahkan malah menjadi suatu keunikan yang harus dilestarikan, karena masing-masing masyarakat Hindu telah mengerti dan memahami dan telah diberikan kebebasan untuk melaksanakan sesuai dengan ajaran dan keyakinannya masing-masing sebagai suatu contoh bahwa dalam suatu pelaksanaan upacara keagamaan bagi umat Hindu Kaharingan tetap melaksanakan sesuai dengan ajarannya dan adat budaya keagamaannya yang telah berlangsung beribu-ribu tahun yang lalu. Upacara penguburan adalah rukun kematian tingkat awal yang dilaksanakan oleh masyarakat Hindu Kaharingan salah satu bagian dari pelaksanaan pitra yajna dari ajaran Weda. Ajaran Weda yang telah tersebar ribuan tahun yang lampau di pulau Kalimantan telah memberi nuansa dan warna kedaerahan sesuai dengan konsep Desa, Kala dan Patra serta pengaruh pengalaman waktu yang sangat panjang dari jaman Hindu di kerajaan Kutai. Kewajiban keluarga untuk melaksanakan pitra yajna dinyatakan dalam Weda khususnya Manawa dharmasastra III, sloka 82 menyatakan :
Kurva daharahah craddham annadvena daakena wa,
Payo mula phalairwapi pitrbhyah pritimawaham.
Artinya :
Upacara pitra yajna harus kamu lakukan, hendaknya setiap harinya melakukan sradha dengan mempersembahkan nasi atau dengan air atau susu dengan ubi-ubian dan buah-buahan dengan demikian menyenangkan para leluhur (Pudja dan Sudharta, 2003:154)
Persembahan kepada leluhur (pitra) menurut kitab suci Veda merupakan kewajiiban yang mestinya dilaksanakan dengan penuh ketulusan. I Made Titib (1998:225) menyatakan dalam bukunya “Veda Sabda Suci” ajaran suci Veda, disamping mengamanatkan untuk memuji Tuhan Yang Maha Esa, para Dewata, juga diamanatkan untuk memuji leluhur, karena pada hakekatnya para leluhur adalah perwujudan dan pengejawantahan dewata (PitÅ— devo bhavo, matÅ— devo bhawa. Artinya ayah adalah perwujudan dewata, ibu adalah perwujudan dewata). Persembahan berupa makanan yang dipersembahkan kepada para leluhur yang dilandasi oleh kesucian. Upacara penguburan sebagai implementasi pitra yajna, ajaran Veda yang telah berkembang sejak dahulu perlu dikaji dengan sudut pandang Hindu untuk mendapat legitimasi masyarakat umum. Bahwa upacara penguburan adalah upacara agama Hindu bukan upacara adat yang pelaksanaannya sesuai dengan tujuan, kemampuan, tempat, waktu dan pengetahuan atau ajaran suci (iksa, sakti, desa, kala dan tattwa).
Demikian juga tertulis dalam kitab suci Panaturan yaitu sebagai pedoman dan menuntun pelaksanaan upacara penguburan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Palangka Raya. Kitab Suci Panaturan memberikan petunjuk kepada manusia untuk melaksanakan upacara penguburan sebagai jalan menyatukan roh suci kepada asalnya yaitu Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dan menyucikan sanak saudaranya yyang masih hidup dari beberapa pantangan Pali/rutas kematian (cuntaka). Kewajiban melaksanakan upacara penguburan tertulis dalam kitab suci Panaturan pasal 29 ayat 4 berbunyi sebagai berikut :
Hete Ranying Hatalla bapander panjang umba Raja Bunu, tuh bitim palus panarantang aim, akan ilaluhan kareh manyuang Batang Petak ije jadi injapa-Ku hayak inyewut-Ku jeta Pantai Danum Kalunen tuntang panarantang aim te dapit jeha puna bagin matei.
Artinya
Dengan panjang lebar Ranying Hatalla berfirman kepada Raja Bunu, firman-Nya kepada Raja Bunu, bahwa engkau dan semua anak keturunannya akan AKU turunkan mengisi permukaan bumi yang telah KU ciptakan dan AKU sebut itu kehidupan, serta bagi anak keturunanmu nantinya iia kkembali kepada-KU melalui kematian.
(Tim Panaturan, 2006;131).
Ajaran Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa) menjadi dasar pelaksanaan upacara penguburan sebagai proses awal dalam kematian dan untuk sementara hanya sampai pada Bukit Nalian Lanting bersama dengan Raja Entai Nyahu Kameluh Tantan Dandayu hal tersebut sebelum pelaksanaan upacara Tiwah sebagai upacara terakhir dalam kematian yaitu untuk mencapai Lewu Tatau Habaras Bulau Habusung Hintan Karangan Lamiang, Lewu Dia Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat (Alam Ranying Hatalla atau Brahman). Upacara penguburan menjadi tanggung jawab dan kewajiban bagi masyarakat Hindu Kaharingan dan seluruh keluarga duka. Sehingga pada saat pelaksanaan upacara tersebut tampaknya adanya kebersamaan antara pihak keluarga dengan masyarakat umum sangat tampak sekali dalam gotong royong dalam mengikuti upacara penguburan tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, ritual apapun bentuknya perlu dikaji termasuk upacara penguburan yang mempunyai bentuk, fungsi dan makna yang berguna bagi kehidupan manusia dan ddapat diimplementasikan dalam realitas sosial kemasyarakatan guna meningkatkan kualitas diri dalam mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, kedamaian, dan keharmonisan lahir dan bathin. Dengan adanya penelitian ini, penulis sangat berharap mampu dan bisa mengetahui yang sebenarnya terjadi pada masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah tentang pelaksanaan upacara kematian yaitu upacara penguburan yang selama ini masih banyak yang belum dipahami oleh masyarakat secara umum dalam proses upacara dan kadang-kadang pemahaman masyarakat non Hindu Kaharingan kadang-kadang bingung melihat proses upacara tersebut dan akhirnya ada yang menanggapi secara negatif terhadap upacara tersebut, untuk itu perlu diteliti secara mendetail dilapangan dengan judul “Upacara Penguburan Dalam Masyarakat Hindu Kaharingan”.























BAB II

PEMBAHASAN


A. Upacara Penguburan
Upacara dimaksudkan adalah tata pelaksanaannya melalui proses dari awal sampai akhir tentang upacara penguburan. Untuk dapat dipahami lebih jelas tentang pengertian upacara dan usul bahasanya dapat dilihat dalam kamus Sansekerta – Indonesia (1985:86) oleh pemda tingkat I Bali, bahwa upacara artinya mendekati dalam bentuk maskulin mempunyai arti kelakuan, sikap, pelaksanaan dan penghormatan. Secara etimologi kata upacara berasal dari dua kata berasal dari kata Upacara dan Mangubur. Kata Upacara berasal dari kata “Upa” yang berarti dekat dan “cara” berarti tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku (Kamus Sansekerta-Indonesia). Jadi upacara dalam pemahaman religi adalah sesuatu yang bergerak untuk mendekati diri kepada Tuhan dengan manifestasiNya. Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia kata upacara artinya suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang baik (dharma) terikat pada aturan-aturan tertentu menurut adat dan agama, sebagai jalan yang utama dalam memuji dan berhubungan dengan Tuhan. Demikian juga dalam kamus bahasa Kawi-Indonesia karya P.J. Zoetmulder, kata upacara artinya tingkah laku atau kelakuan yang pantas dalam arti kebenaran, kemuliaan, kebijakan (dharma). Sedangkan mengubur berasal dari kata “kubur” yang berarti kuburan. Jadi upacara penguburan adalah upacara menanamkan jenazah ke liang kubur. Bagi umat Hindu Kaharingan apabila seseorang meninggal dunia wajib diupacarakan sesuai tradisi setempat.
Kajian dari beberapa konsep yang berkaitan tentang upacara adalah merupakan bagian dari sikap dan tingkah laku baik dalam pelaksanaan upacara penguburan yang melibatkan masyarakat sekitarnya. Dalam memahami suatu tindakan hal tersebut perlu dilakukan motivasi, sebagai contoh yang dilakukan oleh para filsuf Yunani. Filsuf-filsuf Yunani di abad ke-XIX telah menelaah mengenai motivasi bahwa perilaku manusia disebabkan oleh pengaruh fisik dan spiritual. Para filsuf juga berpendapat bahwa pemikiran merupakan sumbangan terhadap dorongan untuk manusia bertindak, dimana pikiran adalah motivasi primer bagi manusia (Rosana 2000).
Pengaruh spiritual yang mendasari perilaku manusia yang akhirnya menjadi motif manusia dalam bertindak sesungguhnya sebuah naluri dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Salah sartu naluri dasar dari manusia adalah pengakuan akan eksistensi Tuhan yang melahirkan berbagai macam ritual-ritual yang merupakan manifestasi dari penyembahan, penyerahan diri dan pengagungan terhadap Ranying Hatalla. Lahirnya ritual-ritual ini merupakan dorongan dari dalam manusia yang dalam perkembangannya menjadi sebuah lembaga yang kemudian disebut dengan agama dan kepercayaan.
Praktik-praktik ritual dalam keagamaan ini bisa berasal dari teks-teks kitab suci yang menjadi pedomannya ataupun hasil kreasi oleh pikir manusia. Keberadaan prakrik-praktik ibadah ini tidak bisa dilepaskan dari proses sosial. Contoh dari proses sosial antara manusia dengan lingkungannya adalah kehidupan bangsa Indonesia secara umum. Bangsa Indonesia dengan peenduduk yang multikultural, beraneka budaya, suku bangsa serta agama tetapi menjadi satu kesatuan nusantara dan membentuk satu kebudayaan Indonesia. Pada prosesnya adat istiadat, agama dan budaya menjadi sebuah rangkaian yang terkait dan saling memperkaya. Praktik-praktik ritual adat yang ada di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari akulturasi antara budaya dan agama terutama agama Hindu.
Agama sesuatu yang dianggap dari Tuhan Yang Maha Esa telah sedang dan akan mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku para pemeluknya. Pengaruh agama dalam kehidupan berbudaya dan sebaliknya telah menciptakan suatu tradisi yang beraneka ragam. Dialektika hubungan agama dan tradisi terjadi dalam masyarakat yang digolongkan dalam golongan tradisional (Parlin, 2000). Hindu sebagai salah satu agama yang diakui keberadaannya di Indonesia dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan tradisi pemeluknya. Aspek sosial budaya dari masyarakat setempat ketika agama Islam, Kristen mempengaruhinya tidak serta merta terkikis seketika, namun terjadi proses transformasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Sebagai contoh adalah Upacara Penguburan yang mengandung nilai adat dan budaya ditinjau dari srana dan prasarana upacara tersebut yang selalu diyakikni oleh masyarakat Hindu Kaharingan dan merupakan suatu tradisi leluhur secara turun temurun diperhatikan, dilestarikan sampai saat sekarang ini sehingga menjadi sebuah adat atau tradisi. Bahwa untuk memahami kebudayaan masyarakat dayak kalimamtan tengah tidak dapat dilepaskan dari agama Hindu Kaharingan yang telah memainkan peranan dalam membentuk kebudayaan itu, karena didalam kebudayaan tersebut terkandung unsur ritual keagamaan Hindu Kaharingan.
Akulturasi budaya agama Hindu Kaharingan menurut perkiraan telah ada sejak nenek moyang dulu kala yang pada asal mulanya disebut Agama Helu. Di Kalimantan Tengah khususnya, agama Hindu Kaharingan merupakan sebuah tradisi dan ritual adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyang, sehingga melahirkan kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah.
Upacara penguburan adalah merupakan bagian dari ritus kematian tingkat awal, upacara penguburan merupakan hal awal dari proses kematian yang wajib dilaukan oleh masyarakat suku Dayak Kaharingan, terutama mereka yang menjadi salah satu penganut kepercayaan leluhur. Karena hanya melalui upacara ini puncak kebahagiaan hidup seorang manusia suku Dayak Ngaju dapat dicapai. Penantian panjang dari kelahiran sampai kepada upacara penguburan tersebut merupakan ruang kehidupan seorang manusia Dayak Ngaju, sehingga seluruh perjalanan hidup seorang manusia Dayak berpusat dalam pemenuhan janji yang terkandung dalam upacara penguburan. Oleh karena itu setiap sisi kehidupan manusia Dayak Kaharingan selalu bertautan denggan ragam dan aturan pada kepercayaan yang mereka percayai tersebut. Ragam dan aturan dalam pemahaman kepercayaan suku Dayak Kaharingan merupakan susunan yang sangat rumit. Pemahaman susunan tersebut hanya dapat dikuasai oleh pelaku atau pemimpin keagamaan yang mereka percayai yaitu seorang Basir. Kepentingan Basir adalah untuk menjembatani penghuni alam surgawi dan alam manusia. Penghuni alam surgawi hanya bisa berkomunikasi dengan Basir melalui suara yang diucapan dengan upacara yang dipimpinnya. Ucapan Basir dalam rituak yang dipimpinnya hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu yang dianggap suci. Oleh karena itu, bagi mereka yang berada diluar lingkaran kepercayaan masyarakat Hindu Kaharingan sebagai bagian dari suku Dayak Ngaju, hal tersebut sangat rumit dan sama sekali tidak dapat dimengerti. Bagi suku Dayak Ngaju yang non Hindu Kaharingan pemahaman akan kepercayaan tersebut kurang dipahami dan hanya dapat didengar. Dalam pengertian hal-hal yang diucapkan seorang Basir atau leluhur merupakan pedoman hidup bijaksana.
Terjaganya upacara penguburan dalam kehidupan masyarakat Hindu Kaharingan ini tentunya tidak berlangsung begitu saja, melainkan ada nilai-nilai yang menajdi pandangan hindup dan sandaran di massyarakat. Menurut keyakinan orang Dayak, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang agung yang teratur, dan terkoordinasi yang harus diterima oleh mereka. Mereka harus menselaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tenteram (selamat). Maksud utama praktek sosio religius orang dayak tidak ada lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini tetap lestari dan terjaganya upacara penguburan ini menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah. Walaupun ditengah arus modernisasi dan globalisasi serta letak geografis serta pengaruh dari budaya luar yang berada di tengah kota, masyarakat umum tetap setia menjalankan tradisi ritual tersebut. Hal inilah yang menimbulkan keingintahuan penulis untuk meneliti lebih jauh mengenai upacara penguburan. Di balik tradisi upacara penguburan adalah merupakan rukun kematian tingkat awal bagi umat Hindu Kaharingan. Kegiatan ini merupakan suatu kewajiban yang telah dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan dengan tujuan penyucian, penyelamatan ddan pembebasan Roh Liau Haring Kaharingan (Liau Balawang Panjang dan Liau Karahang Tulang) atau unsur Ibu dan unsur Bapak dari Rutas/Pali Belum (pantangan hidup).
Kematian merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh mausia dan semua manusia pasti akan mengalami kematian. Kematian merupakan jalan yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla bagi keturunan Raja Bunu untuk kembali kepada-Nya. Dalam Panaturan pasal 29 ayat 4 dinyatakan sebagai berikut :
Hete RANYING HATALLA bapander panjang umba Raja Bunu, tuh bitim palus panarantang aim, akan ilaluhan kareh manyuang Batang Petak ije jadi injapa-Ku hayak inyewut-Ku jete Pantai Danum Kalunen tuntang panarantang aim te dapit jeha puna bagin matei.


B. Masyarakat Hindu Kaharingan
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat terdiri atas kelompok-kelompok individu atau keluarga dalam suatu wilayah tertentu dan oleh peraturan-peraturan yang diterima bersama sebagai aturan-aturan yang paling mengikat. Walaupun demikian didalamnya terdapat perbedaan yang amat besar sosial budaya, kebiasaan, tradisi dan mungkin juga etnik.
Apa yang disebut masyarakat adalah kelompok-kelompok individu yang hidup bersama baik dalam kesatuan kerja sama maupun dalam arti bertentangan. Bekerja sama dan bertentangan adalah ciri dari salah satu masyarakat, dari kedua bentuk tersebut selalu berhubungan antara satu dengan yang lain merupakan sesuatu yang paling ideal. Manusia adalah mahluk sosial yang hidup ketergantungan antara hubungan yang satu dengan yang lainnya, namum hubungan tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat kemajuan sosial budaya masyarakat dan cara berpikir mereka.
Agak sulit untuk memberikan suatu batasan tentang masyarakat, oleh karena istilah masyarakat sangat luas mencakup berbagai faktor, sehingga apabila diberikan suatu definisi yang mencakup keseluruhannya. Untuk mendefinisikan tentang masyarakat secara terfokus sangat sulit, karena banyak para ilmuwan khususnya sosiolog mengkajinya dengan tiada akhirnya, masyarakat dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan faktor. Untuk memahami definisi tentang masyarakat dapat kita pelajari dari berbagai pendapat. Abdul Syani (1987) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berasal dari kata musyarak (Arab), yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat yang artinya berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling berpengaruhi. August Comte menyatakan bahwa masyarakat merupakan kelompok-kelompok mahluk hidup dengan realitas-realitas baru yang berkembang menurut hukum-hukumnya sendiri dan berkembang menurut pola perkembangan tersendiri. Masyarakat dapat membentuk kepribadian yang khusus bagi manusia, sehingga tanpa adanya kelompok, manusia tidak akan mampu untuk dapat berbuat banyak dalam kehidupannya. Hidup bersama dan saling membutuhkan serta saling mempengaruhi adalah kodrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikian juga pendapat ilmuwan berikut ini yang dikutip Soekanto (2004:24) menyatakan atau mendefinisikan tentang masyarakat adalah sebagai berikut :
 Maclver dan Page yang menyatakan bahwa “Masyarakat” adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok dan penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah
 Ralph Linton “masyarakat” merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.
 Selo Sumarjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.
Satu kesatuan antar manusia yang mempunyai tujuan dan saling interaksi ssatu sama yang lain menimbulkan tradisi dalam masyarakat yang pada akhirnya disebut kebudayaan. Interaksi antar manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan tak dapat dihindarkan, karena itu merupakan kodrat kehidupan.
Berdasarkan tiga ciri dalam mendefinisikan masyarakat yaitu adat istiadat, norma-norma, hukuman dan aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku, Koentjaraningrat (1990:146) merumuskan tentang pengertian masyarakat. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang bersifat kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kesatuan masyarakat akan menjadi lebih kuat jika ada masyarakat dan pemimpin sungguh tepat, sebab jika ada masyarakat atau kelompok orang tanpa ada pemimpinnya bagaikan sapu lidi tanpa suh (pengikat) yang menyatukan dan memperkuat kemasyarakat.
Hindu Kaharingan adalah suatu kepercayaan umat Hindu di Kalimantan Tengah dengan lokal-genius (kearifan lokal) dan merupakan agama yang paling awal bagi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. Pada jaman dahulu Kaharingan disebut dengan agama Helu, karena kata Kaharingan berasal dari kata Haring yang artinya hidup (Tjilik, 2003:478). Lebih jauh Tjilik Riwut dalam bukunya “Maneser Panatau Tatu Hiang” (2003:478) menjelaskan bahwa, Kaharingan tidak dimulai sejak jaman tertentu, Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, sejak awal Ranying Hatalla menciptakan manusia. Sejak adanya kehidupan, Ranying Hatalla telah mengatur segala sesuatu untuk menuju jalan kehidupan kearah kesempurnaan yang kekal abadi.
Kaharingan telah ada sejak awal penciptaan, maksudnya ajaran Kaharingan bukan istilah dari Kaharingan. Ajaran Kaharingan yang ada sejak alam semesta diciptakan oleh Tuhan, yang diyakini oleh penganutnya merupakan sumber ajaran suci yang dalam mengarungi lautan kehidupan yang memberikan tuntunan kehidupan yang sempurna. Kalimat suci yang menyatakan hal tersebut yaitu “Indu Lambung Panunjung Tarung, Mina Timpung Payun Rawei”, artinya Kaharingan sebagai pegangan menjadi sumber segala kebijaksanaan, ungkapan suci serta petunjuk-petunjuk yang dapat dijadikan suri tauladan (Tjilik, 2003:480).
Agama asli penduduk pribumi (suku dayak) adalah agama Kaharingan. Sebutan itu dipergunakan setelah perang dunia ke II, waktu diantara penduduk pribumi di Kalimantan timbul suatu kesadaran akan kepribadian kebudayaan mereka sendiri dan suatu keinginan kuat untuk menghidupkan kembali kebudayaan Dayak asli, Dananjaya dalam Koentjaraningrat (2004:137-138). Seperti disebutkan di atas sebelum kepercayaan itu disebut dengan nama Kaharingan, disebut dengan istilah Helu (dahulu). Kepercayaan tak mempunyai nama, tetapi oleh karena ajaran itu ada sejak dahulu maka disebutlah kepercayaan itu (dulu)
Sejak tahun 1980 Kaharingan berintegrasi dengan Hindu Dharma dengan dikokohkan oleh keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 19 April 1980 dengan surat Keputusan nomor II/37?SK/1980. Sejak integrasi tahun 1980, kata Kaharingan berubah nama menjadi Hindu Kaharingan. Jadi dengan demikian Hindu Kaharingan adalah agama Hindu di Kalimantan Tengah yang pemeluknya berasal dari umat Kaharingan. Umat Hindu Kaharingan selain kitab Weda sebagai kitab sucinya, juga menggunakan ajaran lokal-genius yang disebut Panaturan. Hindu Kaharingan adalah agama Hindu yang berkembang dan tumbuh sesuai konsep Dharma Siddhyartha (iksa, sakti, desa, kala, tattwa/patra) pada suatu daerah atau kepulauan di Kalimantan dengan nuansa dan ciri khas Kaharingan.

C. Latar Belakang Upacara Penguburan
Upacara penguburan berasal dari adanya kematian yang tidak dapat dihindari oleh manusia dan semua manusia pasti akan mengalaminya, karena kematian merupakan jalan yang telah ditentukan oleh Ranying Hatalla bagi keturunan Raja Bunu untuk kembali kepada-Nya. Adanya upacara kematian adalah berawal dari kehidupan yang mengalami beberapa proses kejadian pada jaman dulu kala yakni kejadian di Pantai Sangiang, atau Alam Kekuasaan Ranying Hatalla. Pada awalnya Ranying Hatalla telah menciptakan sepasang manusia yaitu Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun, mereka telah dianugrahi tiga orang anak kembar yang diberi nama Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu. Ketiga orang anaknya Manyamei Tunggul Garing ini akan ditempatkan sesuai kehendak Ranying Hatalla, karena mereka telah diuji dengan berbagai macam cara yaitu :
1) Diuji dengan makanan Pantar Pinang, yang bisa memakannya adalah Raja Sangen dan Raja Sangiang, sedangkan Raja Bunu tidak bisa memakan Pantar Pinang tersebut karena makanannya adalah Behas Manyangen Tingang dan Raja Bunu ditakdirkan untuk turun kedunia pana ini yang akan mengalami suatu kematian.
2) Diuji dengan sebuah Besi (Sanaman Lampang dan Sanaman Leteng). Ternyata Raja Sangen dan Raja Sangiang memegang Sanaman Lampang (Besi yang terapung), sedangkan Raja Bunu memegang Sanaman Leteng (Besi yang tenggelam) dengan suatu pengertian bahwa Besi yang terapungadalah kehidupan selama-lamanya sedangkan Besi yang tenggelam adalah kehidupan sifat yang sementara dan akan mengalami proses kematian.
3) Duiji dengan Binatang peliharaan Ramying Hatalla yaitu Gajah Bakapek Bulau. Binatang tersebut diburu oleh mereka bertiga yaitu Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu. Ketiga anak tersebut beramai-ramai ingin mendapatkan binatang itu pada akhirnya mereka bergilir membunuhnya dengan tombak yang terbuat daru besi yang mereka dapatkan pada saat mereka mandi disungai, besi itu diolah menjadi tombah yang disebut Duhung Pampan Benteng dan Ranying Kapandereh Bunu sehingga mereka gunakan untuk membunuh Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan. Pada akhirnya cobaan yang diberikan kepada Raja Bunu sudah tergambar bahwa Raja Bunu bagian untuk kehidupan yang sementara dan akan mengalami proses kematian, karena pertandanya pada saat dia menombak binatang tersebut tembus dan tidak bisa kembali pada asal mulanya. Sedangkan Raja Sangen dan Raja Sangiang menombak binatang itu bisa kembali seperti asal mulanya walaupun berulang kali mereka menombaknya tetap seperti semula.
4) Diuji kembali dengan pasangan hidup Raja Sangen, Raja Sangiang, dan Raja Bunu mereka bertiga akan diberikan pasangan hidupnya masing-masing yaitu Raja Sangen dianugrahi seorang wanita cantik yaitu Kameluh Kambang Garing, Raja Sangiang dianugrahi seorang wanita cantik juga yaitu Kameluh Kambang Runjan sedangkan Raja Bunu belum jelas pasangan hidupnya karena dia diberikan hanya sebuah patung dari sekumpul tanah yang tidak bernyawa. Sehingga perbedaan mereka sangat jelas bahwa nasib Raja Bunu berbeda jauh dari saudaranyaRaja Sangen dan Raja Sangiang akan tetapi Raja Bunu tidak akan berputus asa dia selalu berdoa memohon berkat dan anugerah dari Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa) agar sebuah patung tersebut bisa beruubah menjadi wanita cantik. Dengan beberapa tantangan yang dihadapi oleh Raja Bunu agar mendapatkan Danum Nyalung Kaharingan Belum untuk menghidupkan sebuah patung yang terbuat dari sekumpul tanah tersebut, sehingga dengan kerja kerasnya patung tersebut berubah menjadi seorang wanita yang cantik jelita yang diberi nama Kameluh Tanteluh Petak, kemudian mereka bertiga masing-masing mengatur kehidupannya sesuai tempat yang telah diatur oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa). Raja Sangen dan Raja Sanging berrtempat tiinggalnya di Pantai Sangiang sedangkan Raja Bunu diturunkan ke pantai Danum Injam Tingang Rundung Nasih Napui Burung (kehidupan yang bersifat sementara penuh dengan tantangan, cobaan, rintangan hambatan dan godaan)
Keempat ujian (cobaan) yang ditempuh oleh Raja Sangen, Raja Sangiang dan Raja Bunu telah tergambar suatu kehidupan mereka bertiga yaitu Raja Sangen dan Raja Sangiang bagian unruk kehidupan selama-lamanya dan bertempat tinggal di Batu Nindan Tarung Angkar Bantilung Nyaring. Sedangkan Raja Bunu ditakdirkan untuk kehidupan yang sementara di Batang Danum Injam Tingang Rundung Nasih Nampui Burung (dunia fana) dan mengalami proses kematian. Dan dijelaskan dalam pasal 32 menyatakan :
“Ranying Hatalla memberitahukan kepada keturunan Raja Bunu tentang tata cara mereka kembali kepada-Nya”.(Tim Panaturan,2006:128).
Pada Pasal 32 ini menjelaskan latar belakang pelaksanaan upacara Tiwah Suntu. Karena Ranying Hatalla telah berfirman kepada Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun tentang segala sesuatu yang Ia kehendaki didalam kehidupan keturunan Raja Bunu nantinya di Pantai Danum Kalunen. Dalam isi firman-Nya adalah menyuruh Manyamei Tunggul Garing dan keturunan Raja Bunu untuk melaksanakan upacara Tiwah Suntu. Mendengar firman tersebut maka dengan segera mereka melaksanakan Tiwah Suntu Raja Tantaulang Bulau, Tantaunyet Bulau di Batu Nindan Tarung, dan yang terlibat didalam pelaksanaan upacara tersebut adalah Raja Uju Hakanduang Kanaruhan Hanya Basakati yang merupakan malaikat Ranying Hatalla sebagai penerima wahyu yaitu :
1) Raja Mandurut Untung
2) Raja Mandurut Bulau
3) Raja Untung Barakat
4) Raja Angking Penyang
5) Raja Garing Hatungku
6) Raja Panimbang Darah
7) Raja Tamanang Tarai Bulan.
Mereka ini yang melaksanakan upacara ritual yang difirmankan oleh Ranying Hatalla dan mereka ini pula yang mengajarkan umat manusia di Pantai Danum Kalunen Nalatai Tisue Luwuk Kampungan Bunu. Pada saat itu rombongan mereka disebut dengan nama rombongan Bawi Ayah.

D. Proses Upacara Penguburan
Upacara penguburan merupan proses awal dari kematian, karena dalam upacara tersebut berawal dari adanya kematian. Pelaksanaan upacara itu didasari atas kepercayaan yang diiyakini oleh masayarakat Hindu Kaharingan sesuai dengan getaran hati (jiwa) untuk berbakti kepada leluhur, Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dan segala manifesttasinya. Selain itu juga sebagai tanda kehormatan untuk melakukan yajna kepada leluhur, karena pelaksanaan upacara penguburan merupakkan visualisasi dan aktualisasi nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya dalam kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya adalah terdiri dari nilai religius, nilai theologi,dan nilai kesucian.
1. Nilai Religius
Segala sesuatu yang bersifat religius untuk pemujaan kepada Tuhan beserta segala manifestasi-Nya termasuk manusia dan alam adalah tindakan religi. Bagi Durkheim religi merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana religi merupakan sumber utama kehidupan sosial. Pembagian kehidupan dunia yang sakral merupakan ciri khas pemikiran religius (Munhi, 2003:128). Dari keterangan tersebut diatas yang dimaksud religius bukan saja yang bersifat sakral seperti tentang Dewa-Dewa, roh dan ketuhanan akan tetapi juga menyangut segala pemikiran manusia tentang segala sesuatu yang baik atau benar sebagai bhakti demi keseimbangan dan keharmoisan alam.
Pemujaan bukanlah hanya suatu sistem tanda-tanda yang mengarahkan kepada kepercayaan itu secara abadi. Dalam upacara religius memiliki aturan-aturan moral dan hukum yang tak dapat dipisahkan dari aturan-aturan religius. Upacar penguburan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah merupakan religi yang mengandung nilai-nilai aturan dan hukum religi. Religi merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan untuk memberikan pencerahan dalam kehidupan dan sebagai sebuah obor yang dapat menerangi kehidupan manusia dalam menjalankan kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki.
Dalam mengkaji nilai-nilai religius pada upacara penguburan dapat dibedakan kedalam dua jenis yaitu nilai theologi atau ketuhanan dan nilai inisiasi atau pensucian. Nilai theologi atau ketuhanan menyangkut segala aspek kehidupan yang bersifat sakral. Tuhan ada dalam segala mahluk (Iswara sarwa bhutanam), seluruh alam semesta ini diliputi Tuhan (Isvasyam idamjagat) dari petikan sloka tersebut menurut Rasti, dkk (2004:118) bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan perwujudan dari Tuhan, tidak ada mahluk dan tempat yang tidak ada Tuhan, karena Beliau meresapi disegalanya. Menurut konsep yajna seluruh yang ada di alam semesta diciptakan oleh Tuhan dengan yajna, maka untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta beserta segala isinya. Demikian juga konsep Rna bahwa manusia sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan mempunyai hutang (Rna) kepada Tuhan dan anak mempunyai hutang budhi/jasa terhadap orang tua yang harus dibalas atau ditebus dengan rasa bhakti dan yajna. Sedangkan nilai inisiasi (penyucian) membahas tentang nilai-nilai inisiasi yang terdapat dalam pelaksanaan upacara penguburan. Pelaksanaan upacara penguburan mengantarkan almarhum ke Lewu Pasahan Raung secara ritual baik aspek jasmani maupun rohani bagi keluarga yang masih hidup. Menurut Elade (dalam Pals, 2001:296) ritual inisiasi adalah melakukan segala aktivitas yang melalui isyarat dan prosedurnya, menciptakan kembali asal usul besar semua pembaharuan penciptaan dunia itu sendiri.
2. Nilai Theologi
Sesuai ajaran agama Hindu bahwa Tuhan merupakan asal mula dari segala apa yang ada (sarwam khalu idam Brahman) termasuk manusia, menurut kitab Sarasamuscaya sloka 4 dinyatakan bahwa “menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama”, utama karena mahluk yang hidup di bumi ini hanya manusia yang mempunyai pikiran (citta) untuk membedakan yang benar dan salah dalam meningkatkan jati diri. Dalam sastra Jawa biasa disebut “Sangkan paraning dumadi” artinya Tuhan merupakan awal dan akhir dari suatu kehidupan. Tak ada satu kehidupan yang tidak berasal dan bertujuan kembali menyatu kepada Tuhan. Tuhan dalam menciptakan alam semesta dengan dilandasi cinta kasih dan yajna. Kitab Bhagawadgita III.10 menjelaskan sebagai berikut:
Sahayajnah prajah srstva purwa pasa prajapatih
Anena prasavisyadhvam esa vo ‘stv istakamadhuk
Artinya
Pada jaman dahulu kala Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda : dengan ini engkau akan mengembang dan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.
(Mantra, 1989:43)
Pelaksanaan yajna yang dilakukan manusia merupakan implementasi ajaran agama yang menjadi kewajiban setiap manusia untuk mengembangkan hidupnya. Tidak ada satu manusia pun yang lepas dari hukum yajna hidup di dunia ini, bahkan semua mahluk yang terimplikasi oleh yajna. Kemahakuasaan Tuhan atas alam semesta ini dalam upacara penguburan mejadi salah satu perantara awal dalam mengantar jenazah tersebut keliang kubur secara ritual yang dilakukan oleh Basir (rohaniawan) hanya sampai Bukit Pasahan Raung sebagai tempatnya sementara selama tiga hari menunggu pelaksanaan upacara Tantulak Ambun Rutas Matei dilakukan oleh para Basir dengan tujuan mengantarkan roh almarhum dari Bukit Pasahan Raung menuju ke Bukit Nalian Lanting disana pun dia hanya sementara menunggu upacara Tiwah yaitu rukun kematian tingkat akhir.
Ajaran Kaharingan yang merupakan ajaran Hindu lokal genius menyatakan dengan jelas dalam Panaturan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta berawal dan berakhir dari Ranying Hatalla Langit (Tuhan), termasuk unsur tubuh manusia yang nyata maupun yang abstrak. Lebih jelas pernyataan Panaturan Pasal 32 ayat 7 yaitu :
Awi puna tamparan taluh handiai te uras bara AKU, kalute kia ulun kalunen palus aseng ngangkakanae, atun hambarua, palus atun lumpuk matae, isi, daha, pupus bulue tulang uhate, kareh ie tau buli AKU, amun ie haluli manyarurui jalae tesek dumah bara AKU.
Artinya
Sesungguhnya segala yang ada itu adalah berawal dari pada-KU, demikian pila manusia ada nafasnya, ada rohnya, ada pula kurnia matanya, daging, darah, kulit dan tulang uratnya, nanti ia bisa kembali kepada-KU kalau ia kembali melalui jalannya datang daripadaKU (Tim, 2003:130).
Ditinjau dari ayat tersebut di atas pelaksanaan upacara penguburan dijiwai ajaran ketuhanan yaitu bahwa manusia berasal dari Tuhan dan kembalipun kepada Tuhan sesuai jalan yang telah diajarkan. Salah satu ajaran yang harus diimplementasikan untuk dapat kembali kepada Tuhan adalah berawal dari kematian yaitu dilaksanakan upacara penguburan yang telah dicontohkan di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung. Segala perilaku masyarakat dalam pelaksanaan upacara penguburan syarat yang mutlak dilakukan oleh masyarakat Hindu Kaharingan adalah melalui Talatah yang telah diajarkan oleh Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) dengan beberapa tindakan yang dilakukan dengan kesadaran bahwa hidup ini ada yang menghidupi yaitu Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) yang maha tinggi, tindakan itu ialah dengan melaksanakan tata cara dalam upacara penguburan yang sesuai dengan talatah yang ada.
Dengan melakukan doa yang dipanjatkan baik tujuannya untuk almarhum maupun kepada keluarga yang ditinggalkan adalah merupakan suatu tundakan yang wajib dilakukan para rohaniawan dalam memuja kebesaran Tuhan merupakan aktualisasi dari pemahaman nilai-nilai ketuhanan yang perlu dikembbangkan dan dilestarikan demi meningkatkan jati diri menuju cita-cita luhur yaitu jagadhita dan moksa. Doa atau dengan manarinjet behasi yang dilakukan pada saat upacara penguburan adalah menjadi salah satu kehormatan bagi yang melaksanakan dan juga sebagai simbol konsentrasi dan penyerahan diri kepada Tuhan dalam keadaan suka maupun duka. Tuhan adalah spirit bagi seluruh alam dan kehidupan, jika kita menyadarinya sebagai spirit kehidupan manusia dalam suka dan duka maka kita akan tetap menyerahkan diri dan senantiasa menjaga kesadaran.
Sarana yang dipakai dalam upacara penguburan adalah syarat dengan simbol yang harus diinterprestasikan untuk mendapatkan apa yang diharapkan yang sesuai denga tujuan. Sarana itu merupakan simbol dari bhakti dengan memanifestasikan perasaan hatinya dalam sebuah Beliau tak berbentuk namun bercahaya suci murni, kekal abadi tidak ada yang lebih mulia dan agung dari-Nya. Dalam Kitab Bhagawadgita III.10 menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia berdasarkan kasih terhadap kehidupan agar berkembang biak , dengan yajna pada diri-Nya sendiri, Tuhan menciptakan manusia, senada dengan dengan kitab Panaturan pasal 1 ayat 6 menyatakan :
Ranying Hatalla menciptakan alam semesta juga karena kasih melihat sunyi senyap disekeliling-Nya, Ranying Hatalla Langit menciptakan alam dengan bayanganNya sendiri yang disebut Jatha Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan (Zat Yang Maha Mulia).
Sesuai dengan konsep Rna manusia sebagai mahluk berpikir dan religius, mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menebus hutang dengan memuja dan berbhakti kepada Yang Maha Tinggi dan Maha Besar (Tuhan) untuk keselamatan hidupnya dari akibat alam karena ketidakberdayaan.
Menyimak keterangan tersebut diatas bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Tuhan dengan kemahakuasaan membagi diri kedalam ciptaan-Nya. Kata lain, alam semesta beserta segala unsurnya berasal dari Tuhan Yang Maha Tunggal sumber dari kehidupan. Umat Hindu Kaharingan sadar bahwa hidup ini berasal dari Ranying Hatalla Langit karena alam berasal dari Ranying Hatalla Langit untuk dapat menyatu kepadaNya manusia bersahabat dan bersatu kepada alam dengan melakukann upacara penguburan yang sarana upacara dipersiapkan sesuai dengan petunjuk para Basir yang melaksanakan upacara tersebut, karena dalam upacara penguburan tidak boleh sembarangan harus sesuai dengan petunjuk.
Jalan kembali ke alam Tuhan telah dicontohkan dalam upacara Tiwah Suntu di Lewu Bukit Batu Nindan Tarung, ajaran ini menjadi kewajiban semua orang untuk bisa kembali ke Lewu Tatau, jika tidak menjadi beban dan tanggung jawab saudara dan anak keturunannya. Orang tua atau leluhur merupakan perwujudan Tuhan yang nyata sebagai instrumen kelahiran dan pemeliharaan anaknya, memuja dan menghormati orang tua atau leluhur adalah implementasi sraddha dan bhhakti kepada Tuhan. Upacara penguburan sebagai bhakti kepada leluhur adalah pemujaan kepada uhan Yang Maha Esa. Leluhur akan menyatu bersama Ranying Hatalla Langit di Lewu Tatau dunia yang penuh kedamaian, kemuliaan dari kejayaan mungkin dalam Weda disebut Zat Zit Ananda Brahman.
Analisis nilai religius dalam upacara penguburan adalah sebagai implementasi kewajiban suci melaksanakan yajna untuk memuja Tuhan dan leluhur dalam menebus hutang (Rna). Hakikat manusia sebagai mahluk yang mempunyai pikiran (citta) dan sebagai hamba Tuhan senantiasa berbhakti kepada Tuhan dengan mencintai dan menghormati segala ciptaanNya termmasuk orang tua. Manusia pada hakikatnya tidak bisa luput dari ruang waktu, kerja, alam sekitarnya dan kehidupan yang satu dengan yang lain salinh berkaitan membentuk sistem kehidupan. Hubungan yang selaras dan harmonis vertikal-horizontal, antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, dalam upacara penguburan disimbolkan dengan penyatuan Panyalumpuk Liau Haring Kaharingan dengan kemahakuasaan Ranying Hatalla, maka akan roh tersebut akan hidup di alam keabadian dan kesucian.
3. Nilai Kesucian
Menurut ajaran Hindu, hakikat hidup manusia lahir ke dunia sebagai pensucian diri atas dosa (karma wasana) masa lalu yang belum habis dinikmati dalam kehidupan yang lampau dan untuk mencapai empat tujuan hidup yaitu dharma, artha, kama dan moksa seperti tersirat dalam sloka “ dharm artha kama moksanam sariram sadanam”. Hidup di dunia memungkinkan manusia untuk bertindak kebenaran meencapai tujuan hidupnya. Analisa Herts dalam upacara kematian sebuah penyucian dari badan yang telah mati karena ditinggal pergi oleh atma (roh), badan halusnya yang berasal dari perasaan, citta, panca tanmatra dan panca indra yang masih mempunyai kesan kehidupan serta pensucian roh (atma) yang terbelenggu karma wasana.
Kehidupan sosial mahluk halus dalam kepercayaan Kaharingan disebut Lewu Tatau adalah sebuah tempat keabadian, kesempurnaan dan kesucian yang penuh kedamaian, kebahagiaan dan kemuliaan tak kurang apapun. Manusia akan hidup kembali ke alam Lewu Tatau dengan diselenggarakan upacara kematian yang disebut dengan upacara penguburan. Ini sebuah sakralisasi atau inisiasi untuk mensucikan unsur badan yaitu Liau Balawang Panjang dengan Liau Karahang Tulang, dengan disucikan kedua unsur badan ini akan kembali menyatu dan hidup kembali ke alam Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Esa), akan tetapi untuk sementara itu belum bisa hal itu terjadi karena belum dilakukan upacara Tiwah sebagai upacara penyucian.
Menurut Uwak D Lendjun, kematian adalah merupakan proses lahir kembali di alam Tuhan setelah disucikan . Hidup kembali dialam Lewu Tatau dengan berbagai kesempurnaan, kesucian dan keabadian menyatu dengan kuasa Tuhan Ranying Hatalla Langit. Namun sekarang setelah diteliti lebih mendalam bahwa upacara penguburan adalah upacara awal dari kematian. Dari penelitiannya di berbagai suku bangsa di Indonesia Hertz menyimpulkan upacara kematian itu terdiri dari tiga tingkat yaitu : Sepulture provisoire, perioe intermediaie, ceremonic finale. Sesuai kesimpulan Hertz dalam upacara kematian masyarakat Hindu Kaharingan penyucian dilaksanakan dalam tahap yaitu upacara penguburan jenazah (Liau) (sepulture provisoire), upacara mamapas pali/rutas dan upacara Tiwah (Periode Intermediaie). Upacara penguburan jenazah atau liau diupacarai untuk disemayamkan di kuburan yang dijaga oleh Raja Entai Nyahu Kameluh Tantan Dandayu. Keyakinan Kaharingan dalam dunia abstrak, kuburan adalah sebuah tempat peristirahatan yang sementara. Pada hari ketiga setelah upacara penguburan dilakukan tahap penyucian awal adalah upacara Mapas Pali/Rutas dari keluarga Tarantang Nule atau keluarga yang ditinggalkan oleh almarhum. Dan juga upacara tersebut mempunyai tujuan untuk mengantarkan atau menunjukkan jalan roh (Liau Haring Kaharingan) ke Lewu Bukit Nalian Lanting sebagai tempat sementara menunggu upacara penyucian tingkat akhir yaitu upacara Tiwah. Upacara terakhir adalah upacara Tiwah yang ditunggu-tunggu oleh semua orang untuk menyempurnakan leluhur dan menyucikan keluarga yang masih hidup (ceremonic finale).
Upacara kematian sangat penting dilaksanakan untuk menyucikan semua unsur yang ada, penguburan dilaksanakan agar tubuh mendapatkan kesucian dan badan yang berasal dari zat alam cepat menyatu kepada sumbernya yaitu panca maha bhuta. Menurut Lewis Iman (wawancara, 22-07-2009) salah satu Basir (rohaniawan) mengatakan jika ada orang yang meninggal dunia tanpa dilaksanakan rukun kematian tahap awal penguburan dan tahap akhir yaitu upacara Tiwah rohnya akan menjadi roh gentayangan yang selalu mengganggu keluarga atau orangg lain apabila tidak dilaksanakan hal tersebut, untuk itu diperintahkan oleh Ranying Hatalla Langit mengadakan upacara kematian terutama upacara penguburan sesuai talatah yang diberikan oleh para Basir. Penyucian Liau Haring Kaharingan yaitu Liau Karahang Tulang dan Liau Balawang Panjang (unsur Bapak dan unsur Ibu) dalam ajaran Hinduu menyebutkan hal tersebut juga menyucikan masyarakat (anggota keluarga) dari segala pali (cuntaka) akibat dari kematian keluarga yang membuat sial keluarga (Berto Acing, wawancara, 12-07-2009). Lebih jelas Djuli selaku Basir (rohaniawan) agama Hindu Kaharingan menjelaskan bahwa keluarga yang telah melaksanakan upacara penguburan, akan mendapatkan keselamatan dan anugerah yang lebih tinggi dari sebelumnya, bahkan tidak hanya setelah upacara penguburan dari semenjak ada keinginan untuk melaksanakan upacara penguburan rejeki selalu mengalir, hal itu kembali pada diri masing-masing. Umat Hindu Kaharingan percaya terhadap leluhurnya untuk memberkahi adanya pelaksanaan upacara penguburan, Tantulak Ambun Rutas Matei dan Upacara Tiwah sebagai upacara yang terakhir dalam penyucian roh leluhur dan keluarga serta meningkatnya anugerah dijelaskan dalam Kitab Panaturan pasal 32 ayat 6 sebagai berikut :
Panakan aim Raja Bunu sahelu bara ewen te haluli hinje AKU, ewen malalus mantiwah pali belum, awi tagal atus barutas matei, kalute kea akan ewen belum sanang mangat, panjang umur asenge : Jetuh nah buku AKU tuh manyuhu ketun malalus tiwah suntu huang Lewu Bukit Batu Nindan Tarung tuh, sahelu bara AKU malaluhan ketun hanak hajarian, nanturung Pantai Danum Kalunen.
Artinya :
Keturunan Raja Bunu, sebelum mereka kembali menyatu kepadaKU, mereka mensucikan dirinya terlebih dahulu, oleh karena ada sial kematian yang berakibat bagi kehidupan dan begitu pula bagi mereka yang masih menjalani kehidupan, mereka melepaskan sial pantangan hidupnya yang diakibatkan karena adanya kematian diantara mereka yang masih hidup agar mereka tenang, serasi dan seimbang, panjang umurnya: itulah sebabnya AKU menyuruh kalian melaksanakan Tiwah Suntu di Lewu Bukit Nindan Tarung ini sebelum AKU menurunkan kalian sekeluarga ke Pantai Danum Kalunen.
(Panaturan, 2005:130)
Ajaran Ranying Hatalla inilah yang menjadi pegangan seluruh masyarakat Hindu Kaharingan untuk melaksanakan upacara penguburan sebagai penyucian diri baik yang meninggal atau keluarga yang masih hidup. Umur panjang, rejeki, keselamatan dan segala berkah anugerah akan diperoleh setelah hilangnya sial/pali belum akibat kematian. Keluarga mengalami pali karena tanggung jawab terhadap leluhur belum diselesaikannya sebagai persembahan dan bhakti. Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa) memerintahkan kepada umatNya untuk mencontohi pelaksanaan upacara penguburan di Lewu Bukit Nindan Tarung sebagai dasar pelaksanaan upacara penguburan tersebut, agar kehidupan alam semesta dan manusia dapat mendapatkan keseimbangan dan keharmonisan. Ajaran Tuhan kepada manusia untuk melaksanakan upacara penguburan menjadi suatu kewajiban dan tanggung jawab yang wajib dilaksanakan secara tulus ikhlas sesuai dengan ajaran yajna.
Dalam rangka membebaskan leluhur dari keterikatan keduniawiaan dan karma wasana masyarakat Hindu Kaharingan melaksanakan upacara sebagai inisiasi sesuai konsep Rna dan yajna sebagai penebusan dosa hutang jasa kepada para lelehur dan Tuhan. Dengan pelaksanaan yajna leluhur akan merasa senang dan bahagia dan segala karma wasana akan disucikan dengan upacara karma yajna. Pelaksanaan upacara sraddha dan tarpana meringankan penderitaan rasa lapar dan haus oleh roh yang meninggal selama perjalanan menuju Pitra Loka. Pelaksanaan upacara yajna dalam menghormati para leluhur dan nenek moyang sangat diperlukan (Sivananda, 2003 :103-104). Selain sebagai peenebusan hutang kepada Tuhan dan para leluhur pellaksanaan yajna dilaksanakan untuk menebus dosa, pernyataan ini dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.69 yaitu :
Tasam kramena sarwasam niskrtyastham maharsibhih
Panca klrpta mahayajnah pratyaham grhamedhinam
Artinya :
Untuk menebus dosa yang ditimbulkan oleh pemakaian kelima alat itu para Maha Rsi telah menggariskan untuk para kepala keluarga agar setiap harinya melaksanakan panca yajna (Pudja dan Sudharta, 2003:151).
Dalam melaksanakan Panca Yajna umat Hindu Kaharingan salah satunya adalah melaksanakan pitra yajna dengan menyelenggarakan upacara penguburan sesuai yang telah diperintahkan oleh Tuhan dalam Pustaka Panaturan. Manusia sebagai mahluk yang mempunyai hutang dan dosa dari segala tindakan yang dilakukan wajib menebusnya dengan ketulus ikhlasan.
Nilai inisiasi atau pensucian dalam pelaksanaan upacara penguburan pada masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah adalah sebagai penyempurnaan pengembbalian Liau keasalnya dan pemujaan kepada leluhur sebagai pembebasan dari keterikatan maya (keduniawian) dan karma wasana. Demikian juga masyarakat anggota keluarga terbebas dari beban pikiran pelaksanaan upacara ppenguburan, sehingga dapat hidup lebih baik, sejahtera, bahagia, harmonis dan damai. Penyucian kepada leluhur dan diri seendiri adalah merupakan hakikat manusia dalam meningkatkan esensi hidup, hal itu sesuai dengan konsep Rna dan yajna. Esensi manuusia adalah suci, yang diciptakan dengan pelaksanaan yajna secara cinta kasih oleh Tuhan, untuk menyatu dan kembali kepada Tuhan manusia melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya yaitu melaksanakan upacara penguburan sebagai penebus hutang dan dosa pada tahap awal.

E. Jenis Pelaksanaan Upacara Penguburan
Dikalangan umat Hindu Kaharingan ada empat cara mengubur (penguburan) yaitu :
1) Dikubur yaitu mengubur jenazah dengan cara ditanam atau dimasukkan kedalam tanah. Cara ini merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh umat Hindu Kaharingan.
2) Dibakar yaitu menguburkan jenazah dengan cara dibakar. Dimana setelah jenazah dibakar lalu abunya diambil sebagian dan disimpat ditempat khusus sementara menunggu proses selanjutnya yaitu upacara Tiwah.
3) Digantung, yaitu mengubur jenazah dengan cara menggantung peti mati disebuah batang pohon atau tiang khusus.
4) Pambak yaitu mengubur jenazah dengan cara disemayamkan ditempat khusus yang disebut pambak.

F. Tahapan Pelaksanaan Dalam Kematian Masyarakat Hindu Kaharingan
1. Perawatan Jenazah
Sebelum dikubur jenazah dirawat sebagaimana orang yang masih hidup.
Adapun langkah-langkah perawatannya adalah sebagai berikut :
1) Memandikan jenazah
Yang disediakan pada saat memandikan jenazah adalah :
a. Air dalam ember
b. Sabun mandi
c. Pakaian yang akan digunakan oleh jenazah
d. Sisir, cermin, minyak dan bedak
e. Piring tempat menampung rambut.
Adapun yang pertama kita lakukan yaitu mengambil air menggunakan telapak tangan disertai dengan mengucapkan mantra
“Tuh anu………….(nama orang yang meninggal) aku mampandui ikau hapa danum ije barasih danum Pantis Rangkan atau Bulau Rangkan Hintan mangat ikau tuh habalitan Bulau Hintan buli nyembang Ranying Hatalla Langit buli Lewu Tatau Ije Dia Rumpang Tulang Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate manyak Pelek Uluh Tingang Tatu Atang Hiang”.
Setelah itu air tadi diusap ke jenazah, karena yang pertama tercipta dari manusia yaitu mata. Kemudian diikuti dengan menyirami seluruh anggota badan jenazah sampai merata dengan menggosokkan sabun disekujur tubuh jenazah dengan berulang-ulang sampai benar-benar bersih.
2) Mendandani Jenazah
Setelah acara memandikan jenazah selesai selanjutnya dikenakan pakaiian yang telah dipersiapkan dan didandani dengan pupur dibagian wajah, cermin, menyisir rambut serta diolesi minyak, ini dilakukan seperti kepada seseorang yang akan bepergian jauh.
Kemudian jenazah yang telah selesai didandani, ditemmpatkan diatas bale-bale diberi galangan dengan menggunakan dua buah gong pada bagian ujung masing-masing.
Posisi pada saat menempatkan jenazah diatas bale harus memperhatikan orang yang meninggal tersebut apakah laki-laki atau perempuan. Bila yang meninggal laki-laki maka posisi kepalanya berada di barat mengingat asal kejadian laki-laki yang pertama berasal dari arah laut mangantung. Sedangkan bila perempuan maka posisi kepala berada di timur, mengingat wanita berasal dari Hulu Batang Danum. Kemudian tangan jenazah tegak lurus berada disamping badan. Pada tangan sebelah kanan diberi telor ayam sebanyak satu butir dan sejumlah uang yang digenggam pada tangannya. Pada kedua matanya ditutup dengan uang logam serta dibagian mulut diberi lamiang kemudian diatas dada jenazah ditaburi beras yang sudah diberi warna merah dan kuning, sirih pinang, rokok dan mangkuk kecil warna putih dengan posisi telungkup.
Telunjuk kaki jenazah kedua-duanya diikat, serta menyisir rambut, dan piring tempat penampungan disimpan di atas kepala tempat menampung ujung rambut jenazah. Setelah itu ada sangku yang diisi beras tempat mendirikan Patung Palawi. Diteruskan dengan pemukulan gong (nitih) dengan jumlah pukulan tertentu. Apabila yang meninggal laki-laki maka jumlah pukulannya sebanyak tujuh kali, dan apabila perempuan maka gong dipukul sebanyak lima kali.
Di atas jenazah dibuat langkau dari kain, langkau itu tepat berada di atas tempat jenazah.
Jenazah ditunggu oleh anggota keluarga yang meninggal secara bergantian jangan sampai ditinggal dan jangan sampai dilangkahi oleh kucing, anjing karena sangat besar pantangannya.
3) Membuat Peti Jenazah
Sebelum membuat peti jenazah, maka terlebih dahulu jenazah diukur dengan menggunnakan rotan, yang diikuti dengan pemukulan gong sebanyak tujuh kali apabila yang meninggal perempuan pemukulan gongnya sebanyak lima kali. Ketika mau berangkat harus dilengkapi dengan alat-alat seperti : beliung, parang, gergaji, piring, sendok, panci, mangkok, gelas dan beras.
Sebelum menebang kayu untuk pembuatan peti maka terlebih dahulu diadakan pemotongan ayam dan darahnya diambil untuk dicampurkan dengan beras. Selanjutnya untuk ditaburkan pada batang kayu yang akan ditebang dengan maksud agar batang kayu tersebut dengan mulus tidak ada yang rusak, menjauhkan roh-roh jahat/roh orang yang meninggal tidak mengganggu orang-orang yang mengerjakan peti jenazah tersebut. Sebelum peti itu dibawa masuk kedalam rumah harus dibunyikan gong sesuai dengan jenis kelamin orang yang meninggal. Bila laki-laki sebanyak tujuh kali kalau perempuan sebanyak lima kali.
4) Proses Manyaluh Raung (Peti Jenazah)
Setelah raung (peti jenazah) sudah siap maka tinggal satu hari lagi untuk tinggal raung (peti jenazahnya) setelah tinggal satu hari baru dimasukkan jenazah kedalam raung (peti jenazah) waktu memasukkan kedalam petinya terdiri dari tiga syarat yaitu :
1. Serbuk nyating (serbuk damar)
2. Tamiang (tamiang yang sejenis bambu)
3. Beliung (balayung)
Manyaluh raung adalah mensucikan Raung secara spiritual, yaitu yang dilakukan oleh seorang Basir/orang yang dituakan dan menghidupkan tamiang sejenis bambu yang telah berisikan serbuk nyating (damar) lalu diayunkan mengelilingi raung (peti jenazah) sesuai dengan jenis kelamin orang yang meninggal dunia (bila laki-laki sebanyak tujuh kali putaran dan apabila perempuan sebanyak lima kali putaran) kemudian memukul-mukulkan raung dengan mata beliung seraya mengucapkan mantra.
5) Memasukkan Jenazah Ke Dalam Raung/Peti Jenazah
Memasukkan jenazah kedalam raung (peti jenazah) diiringi dengan taburan beras merah dan kuning dicampurkan dengan giling pinang, rukun tarahan diiringi dengan pemukulan gong
6) Berangkat Menggali Kubur
Yang perlu disiapkan terlebih dahulu sebelum menggali kuburan terbagi dalam dua syarat yang perlu disediakan yaitu :
1. Beras berwarna merah, kuning yang dicampurkan dengan giling pinang dan rokok.
2. Beras dicampur dengan darah mentah.
Setelah sampai dikuburan, sebelum menggali kuburan, yang pertama kali dilakukan yaitu menabur beras merah kuning yang dicampur giling pinang dan rokok tujuannya memberitahukan kepada Raja Entai Nyahu dengan Kameluh Tantan Dandayu tinggal di Tahanjungan Bukit Pasahan Raung Kereng Dararian Sapendan Lunuk Tarung.
Lalu setelah itu menabur beras dicampur dengan darah mentah yang tujuannya untuk Kamben Kambe Ngarungkung Sale, Kamben Lemba Nalawang Jela, Siak Sakung Malik Malem, Sirat Pasat Ngarungkung Tabuni akan kare ganan bahutai diar (untuk para bhuta kala) agar mereka semua menerima beras campur darah mentah, agar mereka tidak mengganggu semua kegiatan ritual upacara agar pekerjaan semua berjalan dengan lancar.
G. Pelaksanaan Upacara Penguburan
Pada saat pemakaman dilaksanakan melalui dua tahap yaitu :
1. Mampalua Raung Bara Huma (mengeluarkan peti jenazah dari rumah duka). Sebelum peti jenazah dibawa keluar rumag duka terlebih dahulu disiapkan sarana sebagai berikut :
1) Danum karak yaitu air yang dicampur dengan kerak nasi
2) Tampung papas (sarana mamapas yang terdiri dari daun andung/sawang gagar dan kayu tungkun)
3) Darah hewan korban
4) Beras tawur (beras yang berwarna merah dan kuning)
5) Giling pinang rukun tarahan
6) Bua baluh (kendi berisi air)
7) Sumbu (lampu teplok)
Setelah semua sarana telah siap maka peti jenazah dibawa kepintu rumah dengan posisi, laki-laki kepalanya kearah luar tetapi kalau perempuan posisi kepalanya kedalam rumah. Kemudian dilanjutkan dengan memapas raung (mensucikan peti jenazah) dengan sarana dengan danum yayah dan tampung papas yang disertai dengan mantra kemudian peti jenazah diayun-ayunkan keluar masuk ditengah-tengah pintu atau lawang rumah, bila sudah keluar peti mayat tersebut kendi air langsung dipecahkan dimuka pintu rumah supaya sial kita habis dibawanya, apabila laki-laki diayunkan sebanyak tujuh kali, bila perempuan diayun sebanyak lima kali diiringi bunyi payung (bunyi gong) peti jenazah langsung dibawa keluar pintu rumah langsung menuju tempat peristirahatan terakhir (tempat pemakaman).
2. Peti Jenazah berada dipemakaman
1) Menyerahkan jenazah kepada Raja Entai Nyahu (dewa penunggu kuburan)
2) Peti jenazah diletakan diatas liang kubur dan ditopang galangan kayu supaya almarhum diserahkan kepada Raja Entai Nyahu (dewa penunggu kuburan)
3) Acara penyerahan jenazah kepada Raja Entai Nyahu (dewa penunggu kuburan) dipimpin oleh seorang Basir (rohaniawan) dilaksanakan dengan cara menawur (menabur beras tabur) yang telah disiapkan, bertujuan agar almarhum diterima disisi Ranying Hatalla Langit (Tuhan).
H. Acara Pemakaman
1) Setelah acara menyerahkan jenazah kepada Raja Entai Nyahu (dewa penunggu kuburan) langsung dilaksanakan pemakaman.
2) Dalam acara pemakaman peti jenazah dimasukkan keliang kubur ditutup dengan tanah dan langsung ditancapkan (mendirikan) batu nisan dilanjutkan dengan mambelep sumbu (matikan lampu) sebanyak tiga kali berturrut-turut dengan diiringi mantra.

































BAB III

PENUTUP




A. Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi analisis pelaksanaan, proses dan makna tentang upacara penguburan pada masyarakat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah yag telah dipaparkan di atas, ada beberapa hal penting yang dapat disimpulkan :
1. Latar belakang upacara penguburan adalah merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan, karena sudah merupakan kejadian dalam kehidupan manusia untuk kembali kepada Tuhan/Ranying Hatalla Langit. Kitab Suci Panaturan menjadi acuan pokok dalam mengkaji pelaksanaan upacara penguburan, sesuai dengan pokok permasalahan, bahwa upacara penguburan bagi umat Hindu Kaharingan adalah merupakan suatu upacara yang mengantarkan jenazah keliang kubur secara ritual keagamaan setelah itu dilakukan tantulak ambun rutas matei dengan tujuan penghapusan dari rutas kematian, kewajiban luhur dan mutlak dilaksanakan dan merupakan hutang yang terungkap akibat kematian keluarga.
2. Prosesi upacara penguburan adalah dilakukan dengan beberapa tata cara yaitu sebagai berikut :
a. Pemberangkatan peti jenazah dari keluarga duka secara ritual yang dilaksanakan oleh Basir (rohaniawan)
b. Peti jenazah berada di pemakaman.
c. Acara pemakaman secara ritual agama Hindu Kaharingan dengan susunan acara pertama pembacaan riwayat singkat almarhum, kedua dilanjutkan dengan acara pemakaman secara ritual agama Hindu Kaharingan yang dilaksanakan oleh Basir (rohaniawan), ketiga penaburan bunga rampai dan dilanjutkan dengan peletakan karangan bunga, keempat diakhiri dengan sambutan singkat dari keluarga duka dan dari lembaga Majelis Agama Hindu Kaharingan.
d. Acara yang terakhir adalah mambelum mambelep sumbu yang dilakukan oleh Basir (rohaniawan) dan sekaligus berdoa bersama yang dipimpin langsung oleh Basir (rohaniawan).
3) Makna upacara penguburan adalah pada hakikatnya adalah perwujudan simbol-simbol yang dipersembahkan kepada pitra yadnya yang mempunyai makna yang tinggi dalam hal manusia melakukan suatu pemujaan terhadap Tuhan beserta semua manifestasiNya dan alam lingkungan yang mencakup dari pelaksanaan rangkaian upacara yang dilaksanakan dari awal menghembuskan nafas terakhir hingga memandikan jenazah dan sampai pada acara pemakaman dan diakhiri dengan upacara Balian Tantulak Ambun Rutas Matei. Pada masing-masing pelaksanaan rangkaian kegiatan tersebut, menggunakan tata cara upacara khusus yang dipimpin oleh ulama Hindu Kaharingan yaitu Basir dan dengan puja dan mantramnya dengan makna sebagai wujud yang dipersembahkan kepada almarhum dengan penuh yadnya.


























DAFTAR PUSTAKA


Arikunto Suharsini, 1993. Manajemen Penelitian,Jakarta : PT Rineke Cipta

Adi Subroto, Dalil. 1993. Nilai Sifat dan Fungsinya Bulletin Psikologi, Tahun 1 No. 2. Desember. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Ahmad, Haidlor Ali. 1998. Agama Dalam Budaya Lokal di Kediri : Tarik Menarik Kaum “Puritan” dengan Kaum Tradisional. Dialog No. 48. Th. XXII, Agustus. Jakarta : Departemen Agama RI

Agan Tian Basir Duhung Handepang Telun. 2001. Talatah Upacara Keselamatan, Palangka Raya : MB-AHK Pusat.

Bambang Marhijanto, 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. Surabaya : Penerbit Terbit Terang.

Bleeker, C.J. 2004. Pertemuan Agama-Agama Dunia. Bandung : Sumur Bandung.

Goodman, Doglas, J dan Ritzer, George, 2004. Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Prenada Media.

Hartono, 2003. Pedoman Menulis Tesis, Universitas Malang : UMM, Press

Herusatoto, Budiono, 2005. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita.

Hadi Sutrisno. Metodologi Research. Yogyakarta. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Ilon Nathan, 1987. Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang.

Iqbal, Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Penelitian dan Aplikasi. Indonesia : Ghallia

Ismail, Faisal, 2002. Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama.
, 2003. Inti Sari Ajaran Agama Hindu. Yayasan Sanatama Dharmasrama Surabaya. Penerbit Surabaya.
Jonathan, Sarwono, 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif.
Kaelan, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.
Kartono, Kartini, 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial Penerbit Mandar Maju Bandung.
Koentjaraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan.
, 2004. Kebudayaan Metalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

, 1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Gramedia.

, 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jakarta : Universitas Indonesia.

Maleong, 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rasda Karya.

Muhni, Djuretna Adi Iman, 2003. Moral dan Religi. Yogyakarta : Kanisius

Mutar, Ruda, 2005. Buku Petunjuk Mengubur Umat Hindu Kaharingan. Tim Penyusun Buku Mengenal Pantan Sebagai Adat dan Budaya Daerah Kalimantan Tengah. Proyek Pembinaan Permuseuman Balanga Tahun 1999.

Nawawi, Hadari. 2003. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gadjah Mada Univeersity Press.

O’Dea Thomas F. 1985. Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal. Jakarta : CV Rajawali.

Titib, I Made, 1998. Veda Sabda Suci. Jakarta : Surabaya: Paramita

Pudja, Gde. 1978. Isa Upanisad, Jakarta: Penterjemah Kitab Suci Veda, Grafikas.

Pendit, Nyoman S, 1993. Aspek-aspek Agama Hindu. Surabaya : Paramita

Pudja, Gde dan Siddharta, Tjokorda Rai, 2002. Manawwa Dharmasastra, Jakarta: Pelita Nursatama Lestari

Pals, Daniel L. Dekonstruksi Kebenaran, Kritik Tujuh Teori Agama. Jakarta : Cv Rajawali.

Riwut, Tjilik, 2003. Penyunting Nila Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur), Yogyakarta : pustaka Lima

Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma